Kenapa Bukan Saya Yang Jadi Manager?

Manager

“Mil, loe di mana?,” pesan singkat Anggi muncul di layar telepon saya.

“Di rumah. Kenapa?,” sahut saya.

“Gw perlu banget ngomong ama elo,” jawab Anggi. Lantas 3 emoticon Cry muncul darinya.

Saya melirik jam besar di dinding ruang tamu rumah saya sudah hampir jam 10 malam. Saya dan suami saya sebenarnya sudah berkomitmen untuk tidak berbincang dengan ‘orang luar’ di atas jam tersebut.

Tapi kata ‘perlu banget’ yang disampaikan Anggi membuat saya khawatir. Saya sudah mengenal Anggi selama belasan tahun, dan hampir tak pernah dia bersikap seperti itu, kecuali memang ada hal yang benar-benar urgent.

“Kamu telpon aja,” saran suami, saat saya menunjukkan teks percakapan saya dengan Anggi padanya.

Saya mengangguk lega, memutar nomor telepon Anggi dan segera bertanya: “Hai Anggi. Apa kabar?” sapa saya segera sesudah ia mengangkat telepon.

“Baik Mil,” jawabnya. “Cuma butuh curhat aja”

“Mas Endro udah pulang?,” tanya saya menanyakan suaminya.

“Udah tidur,” jawab Anggi sambil setengah tertawa. “Eh, tapi gw juga udah curhat ama dia, kalau itu yang loe maksud”

Saya tersenyum lega, saya memang membiasakan untuk mendorong sahabat-sahabat saya untuk saling terbuka dengan pasangan mereka masing-masing.

“Ini soal kerjaan gw Milk, makanya Mas Endro nyuruh gw cerita ama elo atau Matius,” Anggi ganti menyebut nama suami saya.

Yes My Dear, kenapa?,” buka saya.

“Gw BT banget Mil, BT bangeeeet. Sampai-sampai 2 hari ini gw bawaannya marah-marah mulu, gak bisa tidur nyenyak,” saya terdiam mendengarkan.

“Atasan gw kan resign bulan lalu. Trus tahu-tahu management masukin Manajer baru,” ceritanya. Dari nada suara Anggi, saya tahu dia amat marah akan hal itu.

“Lulusan dari luar sih, lebih muda 2-3 tahun dari kita. Cantik, denger-denger sih masih saudaranya management,” lanjut Anggi lagi.

Saya mengangguk-angguk, meskipun tahu Anggi tidak melihatnya.

“Gw bingung, kenapa sih mesti nyari orang dari luar. Gw kan udah kerja 8 tahun disana. Udah 4 tahun jadi supervisor. Temen-temen gw juga udah bilang, gw yang seharusnya naik jadi Manager”

Kalimat terakhir Anggi membuat saya mulai dapat melihat, masalah apa sebenarnya yang merisaukannya.

“Gw marah banget Mil. Gw siap kalau mesti resign saat ini juga,” ucap Anggi berapi-api.

“Emang loe udah ada kerjaan baru?,” tanya Saya.

“Belum ada sih, tapi gw udah sebel banget di kantor”

“Yaaah boleh aja sih, kalau mau resign duluan baru cari kerjaan baru lagi. Tapi Mas Endro setuju nggak?”

Anggi terdiam beberapa lama, sebelum akhirnya menjawab, “Kemungkinan besar dia gak setuju. Kita ada beberapa cicilan, berat kalau dia sendiri yang kerja”. Anggi mengucapkan kalimat terakhirnya dengan pelan, hampir seperti desahan nafas.

Saya memilih untuk mengalihkan pembicaraan. “Atasan baru loe udah berapa lama masuk?”

“Baru dua hari”

“Baru dua hari?,” saya mengulang kalimat berita Anggi dengan nada tanya.

“Iya Mil, baru masuk senin kemarin,” tandasnya.

“Ya kalau begitu sabar dulu lah. Lihat dulu perkembangannya. Belum tentu dia lebih jelek dari atasan lo yang lama kan?,” tukas saya.

“Tapi katanya dia masih saudara dari management Mil!”

“Ya, kalau masih saudara dengan management memangnya kenapa? Apakah karena dia referensi dari management, maka sudah pasti pekerjaannya gak bagus?,” tanya saya.

Anggi tidak menjawab.

“Loe inget Pak Wisnu?,” saya menyebut salah satu manager di perusahaan lama kami dulu.

“Semua orang tahu kalau Pak Wisnu keponakan si Boss, tapi siapa yang berani bilang hasil pekerjaannya jelek? Or he not deserve the position?,” sambung saya lagi.

Terdengar suara helaan nafas Anggi di ujung sana. “Ya, tapi kan kebanyakan orang referensi begitu Mil”

“Kebanyakan kan? Gak semua. Loe tahu gw lah nggi, gw udah bertahun-tahun di Recruitment. As Recruiter, gw mesti akui, ada beberapa kandidat referensi yang seharusnya gak lolos. Tapi yang bener-bener bagus juga banyak. Pak Wisnu itu bukan satu-satunya. Selain dia, gw juga pernah kerja bareng sama Marketing Director yang anak tunggalnya si Boss. Usianya juga beberapa tahun lebih muda dari kita. Tapi gw akui, dia memang marketing yang jago, dan menurut gw, dia memang pantas di posisi itu meskipun dia bukan anak tunggalnya si Boss,” urai saya.

“Oke, loe bener, mungkin ni orang beneran bagus, bukan sekedar referensi, terlalu cepat dalam dua hari gw menilai dia,” aku Anggi.

Kami terdiam beberapa saat, sebelum terdengar lagi suaranya.

“Tapi kenapa sih mesti dia? Kenapa nggak gw?,” nada suara Anggi kembali meninggi.

Saya terdiam agak lama, mencoba merangkai kata yang tepat. Andai saja ada makanan di hadapan kami, percakapan kami akan terasa lebih mudah.

“Gw udah 4 tahun Mil jadi supervisor, Gw supervisor yang paling senior disana. Hasil Performance Appraisal gw juga paling bagus, bonus gw yang paling gede….” timpal Anggi lagi.

Saya menghela nafas, mencari akal.

“Boss loe yang lama, siapa namanya?,” tanya saya

“Bu Rein?”

“Iya.” Saya me- recall dari ingatan Saya seorang wanita cantik yang diperkenalkan Anggi, pada waktu kami tak sengaja bertemu di sebuah event beberapa bulan lalu.

“Bu Rein itu Manager yang bagus nggak?,” tanya saya.

“Super Bagus, dia baik, matang, keibuan, suka backup anak buah, pengetahuannya tentang customer service juga oke banget. Mantep dah,” Anggi berbicara seolah-olah dia sedang melakukan suatu promosi.

“Dibawahnya Bu Rein ada apa aja?,” tanya saya

“Gw pegang Loyalty, Temen gw yang namanya Irene pegang Community, trus ada satu lagi yang pegang reference,

Baca juga :   Jangan Asal Pilih Teman Ketika Bekerja Di Perantauan

“Loe di Loyalty udah lama?”

“Ya udah sejak 4 tahun lalu itu”

“Pernah pegang community juga?”

“Pernah, pas si Irene cuti melahirkan. Tapi nggak lagi-lagi deh. Ribet banget, pusing gw.” Anggi kemudian terdiam seakan menyadari ada yang salah dari jawabannya terhadap pertanyaan saya.

“Pernah pegang reference?,” saya melanjutkan pertanyaan.

Saya seolah melihat Anggi menggeleng di ujung sana, “Belum pernah. Tapi seharusnya sih kalau yang itu gampang. Belajar sebentar juga bisa”.

Saya mengangguk-angguk. “kalau kita takar dari 1-10, nilai loe tentang penguasaan terhadap Loyalty berapa?”

“9”, jawab Anggi mantap

“Community?”

“5,” ada kesan ragu yang muncul di jawaban Anggi

“Reference?”

“Nggak tahu. Kan belum pernah,” jawabnya.

“Tapi loe tahu nggak, kerjaan disana apa aja?,” tanya saya.

Terdengar suara decak sebal Anggi di ujung sana, “Aduh Mil, gw ngurusin kerjaan gw sendiri aja udah repot, ngapain gw kepoin kerjaan orang?”

Saya tersenyum. “kadang kepo itu perlu lho nggi, minimal supaya loe siap kalau suatu waktu loe akan di angkat jadi manager,” sindir saya.

“@#$!!,” sumpah serapah terdengar dari mulut Anggi. Mungkin tidak seharusnya saya menyindirnya di saat yang seperti ini. Namun di sisi yang lain, saya perlu menyadarkan sahabat saya itu akan apa yang menurut saya sedang terjadi.

“Anggi My dear…,” suara saya melembut, memilih tidak mengikuti kemarahannya. “Gw yakin soal Loyalty loe jagonya, tapi untuk menjadi Customer Service Manager, loe gak bisa cuma andelin kemampuan loe di Loyalty doang.,” tandas saya.

“It’s not fair,” gerutu Anggi di ujung sana. “Gw mana punya waktu mikirin kerjaan orang lain. ngerjain kerjaan gw sendiri aja udah ribet. Gw udah curahin semua waktu gw untuk ngerjain semua yang gw bisa, supaya kerjaan gw dan kerjaan anak-anak gw beres.”

Saya tersenyum, “Ya, itulah sebabnya Performance Appraisal loe paling bagus, semua target loe tercapai, bonus loe paling gede.”

“@#$!!,” Anggi menyumpah lagi.

“Gw selalu pulang paling belakangan mil, abis anak buah gw pulang, gw check in lagi kerjaan mereka satu-satu, gw pastiin kerjaan kami bener,” lanjutnya.

Saya tersenyum lagi. Saya tahu Anggi, dan saya pernah melihat dia melakukannya.

“Mungkin mulai sekarang, loe mulai kurangin hal itu, dan mulai perhatiin juga hal-hal lain di luar bagian elo.,” saran saya.

Anggi terdiam. Lama tidak terdengar suara apa-apa.

Saya mulai khawatir.

Namun tiba-tiba Anggi tertawa, “Nasehat lo sama dengan nasehat terakhir Bu Rein”

“Oh Ya?”

“Iya, dia bilang gw terlalu focus sama kerjaan gw sendiri. Dan suka menang sendiri kalau berantem sama bagian lain”

Saya tersenyum. “Oh Ya?”

“Mungkin itu masalah gw ya Mil, gw terlalu attention to detail, sehingga gak bisa melihat gambaran besarnya….”

Saya terdiam mendengarkan.

Ia terdengar menghela nafas beberapa kali sebelum kemudian berkata: “Loe bener. Soal Loyalty, gw memang jagonya. Tapi butuh lebih dari itu untuk bisa jadi Customer Service Manager”.

Saya sempat terdiam beberapa lama, merasa tidak percaya dengan kata-kata Anggi.

“Gw masih kesel sih Mil, tapi udah gak sekesel tadi lagi,” aku Anggi di ujung sana.

Saya tersenyum, menghela nafas lega, tapi sepertinya helaan nafas itu berkembang menjadi menguap.

Anggi tertawa, “Loe udah ngantuk ya? Ya udah tidur dulu sana”

Saya ikut tertawa, “Sorry…gw agak capek banget hari ini”

“Iye… gw ngerti kok.”

“Loe udah selesai ceritanya?,” tanya saya.

“Udah kok Bu. Udah,” Anggi menjawab, ada kelegaan terdengar dalam nada suaranya.

“Terimakasih ya,” lanjutnya.

“Sama-sama,” senyum saya.

“Bye, GBU”

“GBU too,” saya menutup hubungan telepon.

“Udah beres?,” tanya suami saat saya kembali ke sofa.

Saya mengangguk. Senyum saya mengembang menggantikan wajah khawatir saya, yang dilihat suami saya tadi.

Sambil menyenderkan kepala saya pada lengannya, pikiran saya melayang kembali pada Anggi. Bagi saya menyadarkan Anggi bukan hal yang mudah. Dia itu sangat pekerja keras dan keras kepala. Mengingat usianya dan pengalaman kerjanya yang memang satu angkatan dengan kami, adalah hal yang wajar jika Anggi merasa dirinya sudah layak jadi manager.

Tapi kelayakan untuk menjadi manager tidak hanya berkorelasi dengan usia dan pengalaman kerja semata, di luar itu ada yang disebut kompetensi, baik yang sifatnya general seperti halnya kemampuan managerial, maupun yang sifatnya spesifik sesuai dengan bidang kerja masing-masing.

Menurut saya Anggi masih punya banyak PR untuk meningkatkan kompetensinya tersebut. Dia memang Supervisor yang “baik”, tapi seorang supervisor yang “baik”, tidak serta merta langsung dapat dikatakan dapat menjadi manager yang baik pula. Setiap jenjang kepemipinan memiliki dinamika dan requirementnya tersendiri.

Baca juga : Mengenal Tugas Supervisor & Tanggung Jawabnya Di Perusahaan

Bagaimana dengan Anda? Posisi apa yang sedang Anda ‘targetkan saat ini”? Requirement apa yang dibutuhkan untuk bisa mengerjakan pekerjaan di posisi tersebut dengan baik? Apakah Anda sudah memenuhi requirement tersebut?

Dear Great People! Saya ingin meng-encourage Anda untuk terus naik posisi ke level yang lebih tinggi. Tapi jangan cuma bermimpi. Ada banyak tindakan yang harus Anda lakukan untuk mencapai mimpi Anda tersebut. Bertindaklah mulai dari sekarang! Pastikan Anda adalah orang yang layak memegang posisi sebagai pemimpin, pastikan Anda orang yang layak diberi kepercayaan dan tanggung jawab, pastikan Anda orang yang layak di bayar mahal.

Have a Great Day :)

Originally posted 2020-11-26 17:18:20.

Similar Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *